Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

17 Juni 2009

Liberalisasi Mengintai Keluarga Muslim



Ya HABIBI, tumbuhkanlah cinta kasih diantara kami. Satukanlah kami seperti Engkau menyatukan Adam dan Hawa, Ibrahim dengan Sarah, Yusuf dengan Zulaikha, Rasulullah Muhammad dengan ibunda Khadijah. Tumbuhkanlah dan tingkatkanlah keharmonisan keluarga kami, duhai Ilahi. Panggillah kami kelak di akhirat dengan panggilan : “masuklah kalian dan isteri kalian ke dalam sorga! Disana kalian digembirakan.”


Sebait doa penuh pengharapan kepada Sang Khalik di atas merupakan impian dan cita-cita bagi setiap muslim untuk menggapai ketentraman dan penuh cinta kasih dalam bahtera rumah tangga. Sayangnya cita-cita nan mulia ini kadangkala terbentur dengan dinding yang kokoh yakni berupa serangan liberalisasi atau penghancuran keluarga oleh kaum Islamophobia.


Upaya penghancuran keluarga muslim dengan menyebarkan pengaruh budaya liberal dalam ranah rumah tangga muncul dengan ide dan gagasan berupa keadilan dan kesetaraan gender (KKG), pemberdayaan perempuan berbasis feminisme dan lain sebagainya. Langkah-langkah yang ditempuh untuk liberalisasi keluarga biasanya dibungkus dengan wacana intelektual dan kajian ilmiah. Salah satu upaya tersebut diawali dengan Konfrensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan (International Conference Population and Development – ICPD) di Kairo September 1994.


Konfrensi ini menjadi batu loncatan penting untuk mencetuskan ide bahwa “perempuan adalah kata kunci bagi penyelesaian masalah ledakan penduduk”. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk dunia ini dianggap akan membawa persoalan besar bagi peradaban dunia, khususnya dalam pangan dan kemiskinan. Konfrensi Kairo menghasilkan program aksi bertema “Empowerment of Women”, atau yang lebih popular di Indonesia dengan istilah “Pemberdayaan Perempuan”, yang menjadi “kunci” pembangunan berkelanjutan. Dengan alas an bahwa perempuan adalah sumber daya potensial untuk memberantas kemiskinan, meningkatkan kualitas keluarga, dan mengendalikan jumlah penduduk, maka perempuan harus mendapatkan peluang berkiprah lebih besar di pelbagai bidang.


Jika Konfrensi Kairo menjadi momentum yang mendorong penyetaraan pria dan wanita di pelbagai bidang, Konfrensi Wanita Sedunia IV (Fourth World Conference on Women) yang digelar di Beijing , Cina September 1995 telah menetapkan rencana aksi yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan dalam peran serta mereka di segala bidang.


Tahun 1997, isu “Wanita dalam Kekuasaan dan Penentu Kebijakan” menjadi tema prioritas. Pemerintah di setiap Negara di bawah badan dunia PBB diharapkan (baca: ditekankan) untuk melaksanakan rencana tersebut dalam skala kebijakan nasional masing-masing. Indonesia sebagai bagian dari Gerakan Negara Non Blok (GNB) turut pula menyepakati “Beijing Message” dalam kesepakatan tersebut. Pesan Beijing ini merupakan political will dari Negara-negara GNB untuk mengimplementasikan platform action dalam lima tahun mendatang.

GNB menyatakan akan melakukan berbagai aksi yang menyetarakan pria dan wanita dalam kerangka hak asasi dan menghapus segala bentuk diskriminasi, memperbaiki kondisi ekonomi dan keadilan social, serta membuka kesempatan bagi wanita untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan masyarakat. Sejak awal digulirkan, banyak Negara – terutama yang berlatar belakang keagamaan – memandang rencana aksi Beijing sebagai pemaksaan ide dan keyakinan liberal negara barat terhadap Negara-negara lainnya.


Negara-negara liberal, yang mengklaim dirinya sebagai Negara maju, demikian gigihnya memperjuangkan cara hidup bebas yang lebih individualistis, padahal pada saat yang sama, The Economist justru mengungkapkan masalah besar yang melanda Negara-negara maju ini berkaitan dengan kaum wanitanya. Negara-negara itu dilukiskan sedang menghadapi ancaman keambrukan social. Di banyak Negara maju, khususnya Inggris dan Amerika, perceraian keluarga menjadi obsesi. Statistik menunjukkan kondisi perkawinan yang ‘di ujung tanduk’. Mayoritas anak dibesarkan oleh orang tua tunggal (single parent). Akibat akhir dari perceraian adalah masyarakat yang tercerai berai.


Kebijakan tentang keluarga di Amerika dan Eropa luar biasa kacau. Swedia, misalnya, satu contoh Negara yang mendefenisikan diri sebagai bangsa individual, kebijakannya sangat mencerminkan pandangan itu. Sejak reformasi tahun 1970, secara besar-besaran kaum wanita didorong memasuki dunia kerja. Setiap orang diharapkan memiliki pekerjaan, bahkan para ibu dengan anak-anak yang masih kecil. Data menunjukkan bahwa 50 persen bayi-bayi Swedia lahir dari ibu yang tidak menikah. Lebih dari 50 persen perkawinan di Swedia berakhir dengan perceraian.


Jika demikian kenyataannya, memaksakan konsep ‘Keluarga Barat’ dalam rencana aksi yang diistilahkan sebagai ‘Gender and Development (GAD)” ini bagi Negara-negara berpenduduk Muslim hanya akan mengubah para Muslimah mereka menjadi individualistis, liberalis dan materialis; tak ubahnya langkah untuk menggerogoti bahkan menghancurkan bangunan keluarga.


Menilik bahaya liberalisasi yang mengintai keluarga muslim sepantasnya diperlukan upaya pencegahan dan pembentengan yang kokoh dari keluarga muslim. Usaha untuk membebaskan dari bahaya liberalisasi tersebut salah satunya dapat diawali dengan menyegarkan kembali tentang konsep ideal keluarga. Konsep ideal tersebut dikenal dengan konsep keluarga sakinah, mawaddah dan warrahmah (samara) yang dirumuskan dengan rumus angka 3856. Rumus tersebut dapat dirinci sebagai berikut:


3 Prinsip Keluarga

Prinsip pertama, Islam memandang pernikahan sebagai “perjanjian yang berat, setiap orang memiliki hak dan kewajiban” (lihat QS. An Nisa [4];21). Disini ada hak dan kewajiban yang harus direalisasikan oleh anggota keluarga.

Prinsip kedua, Islam memandang setiap anggota keluarga sebagai pemimpin dalam kedudukan masing-masing (Lihat HR. Bukhari dan Muslim).

Prinsip ketiga, Islam mengajarkan prinsip adil dalam membina keluarga. Adil dalam arti meletakkan fungsi-fungsi keluarga secara memadai dengan fungsi keagamaan sebagai dasarnya.



8 Fungsi Keluarga

Pertama, fungsi reproduksi : dari keluarga dihasilkan anak keturunan secara sah. Kedua, fungsi ekonomi : kesatuan ekonomi mandiri, anggota keluarga mendapatkan dan membelanjakan harta untuk memenuhi keperluan. Ketiga, fungsi social : memberikan status, kadang prestise kepada anggota keluarga. Keempat, fungsi protektif : keluarga melindungi anggotanya dari ancaman fisik, ekonomis dan psiko social. Kelima, fungsi rekreatif : keluarga merupakan pusat rekreasi bagi para anggotanya. Keenam, fungsi afektif : keluarga memberikan kasih saying. Ketujuh, fungsi edukatif : memberikan pendidikan. Kedelapan, fungsi relijius :keluarga memberikan pengalaman keagamaan kepada para anggotanya.


Dari delapan fungsi keluarga di atas, semua berlandaskan pada fungsi keagamaan yang berikutnya akan mendorong empat fungsi keluarga yang lain : reproduksi, edukasi, protektif dan afektif. Dan ke-4 fungsi keluarga ini selanjutnya akan mendorong berjalannya tiga fungsi lain : ekonomi, sosial dan rekreatif. Inilah konsep adil dalam membina keluarga.



5 Tujuan Keluarga

Pertama, mewujudkan mawaddah, warahmah, yakni terjalinnya cinta kasih dan tergapainya ketentraman hati (Lihat surat Ar-Rum [30];21). Kedua, melanjutkan keturunan dan menghindari dosa (Lihat Hadits riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban). Ketiga, mempererat Silaturrahim. Keempat, sebagai sarana Dakwah (Lihat Surat At Tahrim [66];6) Kelima, menggapai Mardhatillah (ridha Allah) dan masuk sorga bersama (az Zukhruf:70).



6 Kebahagiaan

Apabila delapan fungsi keluarga di atas berjalan, maka insya Allah kita akan mendapatkan enam kebahagiaan, yakni kebahagiaan material, kebahagiaan seksual, kebahagiaan moral, kebahagiaan intelektual, kebahagiaan spiritual, dan kebahagiaan ideologis.


Walhasil, liberalisasi keluarga muslim hanya dapat diantisipasi dengan Islamisasi keluarga. Islamisasi keluarga ini tak dapat berjalan dengan sempurna tanpa Islamisasi tatanan masyarakat dan Negara (Khilafah Islamiyah) yang mengayomi seluruh insane di dunia dengan penuh ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah), dan rahmat.

Wallahu’alam bi ash shawab.




Yang Penasaran...?..

JILBAB FUNKY? NO WAY !!!



Bicara soal cewek, nggak akan lepas dengan apa yang namanya mode. Serius atawa nggak yang pasti antara cewek dan mode nggak bisa dipisahkan. Bukannya kita melupakan keturunan Adam yang satunya yaitu cowok, tapi lebih lumrahnya memang mau nggak mau tren dan mode selalu identik dengan cewek. Mode dan cewek bukan hanya sekedar teman dekat dan sahabat pena, bahkan lebih jauh dari itu. Satu dan lainnya saling melengkapi, ibarat dua sisi mata uang yang nggak akan jadi duit kalo sisi satu nggak melengkapi sisi lain (lo khan..ngomong soal duit melulu!!).

Dunia cewek atau akhwat memang berbeda jauh dengan dunia spesiesnya Badrun alias pria. Dunia cewek sedikit atau banyak punya kriteria yang lebih rumit, ciri yang lebih kompleks dan syarat yang lebih bervariasi. Waduh kayak psikolog aja nih… Ngomongin soal dunia cewek memang nggak ada matinya, nggak akan pernah rampung, soalnya punya banyak variabel yang menghias. Apalagi bicara soal pakaian dan semua asesorisnya, hmm…ngomongin problem remeh itu doang, bisa-bisa kasur adik yang kena pipisnya semalam barusan dijemur aja eh…e… bisa kering, saking enaknya ngomong dan bercuap ria. Tapi sorry, di sini kita nggak akan berbasa-basi lagi, tahu nggak sebabnya, itu-tu…cewek dan para muslimah kita lagi punya masalah yang cukup pelik kalo dirasakan. Hal ini ada hubungannya dengan pakaian yang mereka kenakan.


Tahu nggak apa masalahnya…kalo nggak ngerti juga ya super kabangetan, padahal judulnya aja udah nongol gede-gedean di atas bulletin ini. Apaan??…Lho..lo kok telmi sih…itu lho fren masalah jilbab funky. Biar nggak telmi lagi mending baca aja si bulletin yang kiut dan manis ini sampe kelar.otre, siap.. membaca..mulai..!!



The real meaning


Jilbab funky, istilah itu kelihatannya keren dan mentereng kalo dibaca. Padahal bila kita ngerti arti sebenarnya, kita nggak akan mau memakainya lagi. Alih-alih buat ngobrol sama temen, baca kata itu aja terus ditempel dengan nama kamu, misal Somad funky atau Bajuri funky, pasti dan yakin kamu nggak akan sudi, seperti nyanyiannya Rhoma Irama “Sekarang tak tak aku tak mau tak tak tak ku tak mau tak…!!”. Kata funky arti sebenarnya adalah busuk, kemudian mengalami pergeseran makna menjadi makna seolah “positif”. Mendengar istilah funky, terlintas kita akan salah satu penampilan atau gaya yang modern dan ngundang perhatian. Lebih lagi istilah ini sering dipake oleh sobat kita sesama muslim yang pengennya sih jadi sekelas bintang AFI atau American Idol.


Meski gaya-gaya busana yang muncul di barat amat kental dengan sisi perjuangan nyleneh anak muda terhadap sejuta masalah yang penuh gejolak negatif semacam free sex, drugs, rasisme, hujatan terhadap orangtua, memuja setan dan wanita, sampe-sampe nolak keberadaan Tuhan. Tapi seperti orang yang buta en nggak kenal jalan, young generation negeri ini udah disulap menjadi GL-pro alias Generasi Latah profesional. Lebih heng lagi, mereka nganggep hal ini sebagai bukti ekspresi jiwa kebebasan yang terkadang bagi sekelompok orang sulit diterima akal sehat. Nggak heran banyak diantara perilaku nggak beres itu termasuk tren funky, dikritik, disisihkan, atau bahkan dikucilkan masyarakat.

Historisnya, di antara tahun 1950 sampai 1970-an gaya funk berhubungan dengan kelebihan dalam hal erotisme dan gairah seksual. Sementara itu kata funky lebih dekat pada suatu hal yang berkaitan dengan musik kulit hitam hingga soul, seperti suara yang dimiliki Rubben Studart. Sedangkan tentang gaya berpakaian dan cara bersolek ria pada istilah funky merujuk dalam gaya yang lahir di awal tahun 1970-an yang disebut Pimp Look yang muncul di sekitar perkampungan kumuh orang kulit hitam Amerika. Ngerti nggak maksud pimp look itu? Apa nggak ngerti? Lagi-lagi telmi nih!! Maksud pimp look itu adalah penampilan yang mirip dengan germo atau mucikari alias mama besar para pekerja seks komersial. Naudzubillah deh..!!

Nah sekarang, istilah yang rada miring tadi digabung dengan istilah jilbab yang berasal dari pustaka Islam. Padahal keduanya saling bertolak belakang dan saling berlawanan. Jadi penyatuan dua istilah itu ibarat nyatukan barat dan timur atau kutub utara magnet satu dengan kutub utara magnet lain. Nggak salah nih…!! Jilbab yang kita semua udah ngerti maksud dan pengertiannya adalah sebuah kata yang identik dengan perintah supaya muslimah nutupi aurat di tubuhnya (dari ujung rambut hingga ujung kaki, kecuali telapak tangan dan wajah) dengan pakaian yang longgar, tidak transparan, tidak membentuk lekuk tubuh dan tidak berpotongan, sedang kata funky lebih condong ke sebuah makna negatif yang menjurus ke erotisme dan kebebasan seksual. Khan nggak nyambung men!!! Herannya kata itu mampu disatukan dalam benak kaum muda kita dan udah menjadi merah darah putih tulang, hingga akhirnya mereka tafsirkan sendiri maksud jilbab funky, tafsiran mereka nggak jauh-jauh amat dengan memperlihatkan lekuk tubuh wanita tapi tetep aja nutup aurat. Wadaow..kacau beliau Neng!!


Kata Mereka...

Dari hasil beberapa wawancara lewat email yang kita adakan untuk anggota Islamuda Fans Club, ternyata generasi muslimah kita cukup cekatan ngadapi masalah jilbab funky ini. Ingat lho fren, ini khusus wawancara dengan akhwat, nggak mungkin deh kalo sama ikhwan, amit-amit deh nggak pantes pol. PA misalnya, akhwat yang udah pake jilbab sejak semester 2 kelas 1 SMU ini punya pendapat tentang jilbab funky “Aku nggak terlalu tahu mengenai syariat Islam about jilbab ini, tapi yang jelas, setahu aku memakai jilbab itu seharusnya tidak memperlihatkan aurat.

Jadi, kayaknya nggak boleh, deh.” Nggak jauh beda dengan argumen MaI yang alhamdulillah baru-baru aja make jilbab Juli lalu (selamat ya…!!), soal jilbab funky , “Kalo menurut saya nggak boleh, selain itu terkesan nggak seperti selayaknya seorang muslimah, itu juga bisa mengurangi kewibawaan seorang muslimah sejati, karena mungkin menurut orang lain, bisa terlihat seperti cewek gaul.” Wah oke juga, mudah-mudahan aja keinginan jadi muslimah sejati terkabul. Belum lagi dengan komentar KSM, “Menurutku sih kurang memenuhi tuntunan Islam, soalnya yang namanya jilbab itu harus benar-benar menutup aurat. nggak sekedar ditempelin aja.” Bener juga sih, jangan sampe atuh jilbab ditempelin aja, emang kliping…

Terus gimana soal rasanya make jilbab yang sebenarnya, ZI ngungkapin pengalamannya, “Waktu pertama kali pake jilbab tuh rasanya panas banget, tapi harus dibiasain akhirnya sekarang udah terbiasa deh.” Lain halnya dengan DA, “Rasanya biasa aja, tetapi sekarang rasanya jadi lain aja, hati menjadi tenang.”

Salah satu sobat kita, juga komentar soal jilbab funky, AF, “Menurutku “Jilbab Funky” itu nggak boleh, menurut syariat Islam, karena belum syar’i. Bukankah perintah Allah dalam surat An-Nuur ayat 31 sudah jelas kita disuruh menutupkan kain kudung hingga ke dada. tapi kenyataannya sekarang banyak yang berkerudung cuma sebatas leher saja (jilbab lepet), tidak sampai dada..., ditambah lagi dengan pakaian yang ketat”.

Rasanya gimana sih, waktu pertama pake jilbab ? “Rasanya Senang, Haru, Bangga, Aman and ngerasa nyaman aja..., dan tentu saja harus berusaha merubah sikap menjadi lebih Islami”. Gimana juga komentar orang-orang terdekat kamu, saat kamu pake jilbab pertama kali ? “sempat ada yang protes... karena alasan cari kerja susah, dan masalah jodoh nantinya...., tapi lama-lama mereka ngerti dan malah sekarang mendukung dan menjaga saya. Bahkan kata mereka saya lebih anggun ketika memakai jilbab. karena jilbab itu suatu Ibadah dan kebutuhan bagi saya...”.. Tuh,....ada yang kepengin dijaga nggak ? Pake jilbab dong .....(he..hee..heee)


Ada cerita lain lagi, dari beberapa sobat mudi yang sempat ditemui tim Islamuda lewat darat. Sebut aja namanya Mawar, mahasiswa Universitas Adi Buana Surabaya semester 8 ini bercerita soal pengalamannya pertama kali pake jilbab. Kata cewek yang ambil jurusan Matematika ini “waktu pertama kali pake jilbab SMA kelas 2, waktu itu muncul keinginan setelah ikut kajian Islam”. “Cuman waktu itu, aku bingung, soalnya aku kesulitan untuk beli jilbab. Tapi akhirnya, mbak-mbak yang ada di kajian itu ikut membantuk kesulitan saya” tambah Mawar.

Somat, eh....maksudnya Sobat, tentu ketika pake jilbab pertama kali pasti ada hambatan atau keraguan-keraguan atau semacam itulah....Tapi gimana dengan Mawar. “Pertama kali sih, ortu nggak ngedukung ama niat saya untuk pake jilbab. Tapi aku-nya tetap nekat, sampe akhirnya ortu ngerti, tentang kewajiban berjilbab itu, Alhamdulillah”.


Satu sobat cewek yang juga kena todong diinterview oleh Tim Islamuda. Ririn (bukan nama sebenarnya), cewek usia 24 tahun, bisa terbilang baru aja mengenakan pakaian yang namanya jilbab dan kerudung, sekitar tahun 2000. Ketika ditanyain kenapa pake jilbab, jawabnya “Dulunya aku anak gaul mbak, sering ikut fashion show, ngeband, bahkan ngegank juga pernah. Tapi kakakku sering bilangin aku dari cara yang halus sampe yang kasar, tentang pakaian yang Islami itu gimana, tapi sayang waktu itu tidak saya gubris”. Trus, akhirnya “Sampe musibah menimpa bertubi-tubi, akhirnya saya sadar bahwa hidup ini sangat berarti, kenapa disia-siakan dengan melakukan aktifitas yang maksiyat”. Dan Alhamdulillah, sobat kita Ririn akhirnya sampe sekarang masih mengenakan pakain islami alias jilbab syar’i bukan jilbab funky. Horeee (Imud ikut seneng lho...)

Nah, gitu seharusnya muslimah bersikap, nggak plin-plan dan nggak sekedar ngikut. Iya kalo yang kita ikuti itu sebuah kebenaran, meski pahit dan susah, kita kudu melakukan, toh kebaikannya kita akan rasakan sendiri akhirnya. Beda lagi kalo kita cuma sekedar ikutan, kalo hal itu baik, kita nggak akan bisa ngerasakan dimana letak keuntungan dan kebaikannya, sedang kalo hal itu sebuah keburukan, jelas bau busuknya kita juga bakalan kena. Khan serba salah jreng!!


What is the solution?

Demam jilbab funky ini sekarang udah merajalela, bahkan udah jadi santapan media masa dan rumah-rumah modeling. Banyak diantara model yang jadikan jilbab funky sebagai bahan peragaan busana dengan nuansa yang Islami, bahkan para seleb dengan enjoynya pas bulan ramadhan memakai jilbab funky ini dengan alasan bulan yang suci dan harus memakai pakaian yang sesuai dengan hukum Islam. Padahal salah.. hiiih gemes nggak sih. Tapi yang pasti kita sebagai muslim nggak usah banyak alasan, Tanya aja kepada hukum Islam, maka semuanya beres, dijamin tokcer.


Buat gaya funky ini, Islam punya pandangan, kalo gaya, pakaian, budaya atau apapun yang punya hubungan dengannya sangat bertentangan dengan aturan dan hukum-hukum Islam. Tentu itu bila dilihat dari lahirnya budaya ndeso tersebut, darimana lagi kalo bukan dari barat. Islam sudah mengatur, bahwa pakaian yang dikenakan tersebut wajib menutup aurat. Firman Allah SWT yang artinya : “Hai anak Adam, Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian untuk menutup aurat kamu dan pakaian indah untuk perhiasan.” (Al-A’raaf: 26). Nah, buat pakaian wajib muslimah, Islam udah nurunkan perintah yang ada di QS. Al Ahzab 59 dan QS. An Nuur 31 tentang jilbab dan kerudung.

Dalam kamus Ash Shihhah, al Jauhari menyatakan, kalo yang namanya jilbab itu adalah kain yang longgar (milhafah) yang sering disebut mula’ah (baju kurung). Nah soal adanya jilbab funky yang lagi ngetren di sekeliling kita seharusnya mampu kita berikan sebuah solusi konkrit dengan jelaskan apa makna jilbab dan funky yang sebenarnya. Kalo nggak bisa ya…kasihkan aja buletin ini biar dia baca. Sekaligus promosi buat kita..ehem.



Grow up!!

Pernah sih kita baca selebaran dan reklame yang berbunyi, “Tua itu Pasti, Dewasa itu Pilihan”, cuman yang dimaksud di iklan itu tadi, nggak lain dan nggak bukan, orang yang milih produk dia adalah orang yang dewasa. Sayang seribu sayang, kalo kita nongolin lagi iklan itu di atas, yang jadi kesalahan fatal itu nggak ada penjelasan dewasa kayak apa yang dia maksud. Apa cuman gara-gara someone milih dan beli merk yang dia punya di swalayan, person itu tadi identik dengan sebutan dewasa, lha kalo yang milih bocah selevel Dea Imut disebut dewasa khan nggak lucu men!!


Tapi santer atau tidaknya iklan itu bergema, memang kata tersebut nggak ada salahnya kalo kita jadikan sebuah renungan yang kudu dipikirkan. Memang umur kita akan selalu bertambah, kita akan jadi semakin tua dan semakin rapuh. Dulu yang wajahnya mirip Sinichi Kudo berubah menjadi mirip Shincan, kepala yang dulu punya rambut Leonardo di Caprio sekarang jadi bermodel Hagemaru. Sedangkan kita masih aja nggak sadar tentang segala hal yang terjadi di sekitar mata kita. Nggak dewasa-dewasa. Kita terus aja ngikut budaya barat meski nggak jelas tujuannya, nggak nyambung aturannya dan rada edan kalo dilakukan, tapi tetep aja kita mau. Ngikut kontes supaya jadi terkenal dan mampu jual tampang seperti AFI, kontes pamer tubuh lewat top model bahkan buat yang cowok raih jeritan cewek dan doku cepet dengan ikutan L-men kontes, cuma modal buka otot perut. Jadilah kita seorang anak kecil yang tua. Tua umurnya tapi kekanak-kanakan pikirannya.


Sampe kapan lagi kita akan begini, kalo nggak cepet-cepet cari pemahaman Islam yang bener, sampe matipun kita akan tetep jadi anak-anak yang tua. Saatnya kita bener-bener dewasa, bukan cuma fisiknya, tetapi juga pandangan dan cara berpikirnya. Bangun yuukk!!

Yang Penasaran...?..

MUSLIM JADI CHEERLIAR. NGGAK LAH YAW!!



Sejarah Cheerliar


Pada tahun 1884 Thomas Peebles, membawa yel-yel berbunyi Ray, Ray, Ray! Tiger, Tiger, Tiger ! Sis, Sis, Sis! Boom. Boom, Boom! Ke Universitas Minnesota. Seoarang pria bernama Johny Campbell, bergairah dan meloncat di depan penonton yang menjulukinya sebagai cheerliar. Lalu mulailah cheerliar membentuk formasi enam orang dan memakai pakaian seragam. Setelah perang dunia II keanggotaan pria digantikan wanita dalam kelompok cheerliar agar lebih menarik perhatian penonton (dari berbagai sumber)


Cherliar Jadi Trend


Kawula muda zamannya brekele ini, udah pada ngekor alias mbebek keadaan yang udah amburadul ini. Merek ikut-ikutan memerihatkan peringatan tertentu dengan pementasan cheerliar. Bahkan, pihak sekolah mau membantu dengan mengirim pelatih penilai dari kalangan sendiri untuk memberi score bagi para cheerliar. Kalo udah gitu, gimana toh wahai sekolah ? Yang seharusnya nyegah para siswa bertindak gila malah ngebantuiin.


Mungkin mereka pikir ini adalah bentuk kreatifitas. Kreatifitas darimananya? Kalo yang namanya kreatif itu ialah ngelakuin sesuatu yang memalukan, urakan maka 100% benak kalo cheerliar adalah bentuk kreatifitas. Tapi kalo yang namanya kreatif ialah melakukan sesuatu dengan lebih baik en tidak memalukan serta mencerdaskan, maka 100% salah kalo cheerliar adalah bentuk kreatifitas. Betul ?


Trus, ada yang ngatain kalo cheerliar tuh kebanggaan kelas sehingga harus dijunjung. Wataw.. apapula ini, perbuatan memalukan koq malah bangga. Kalo masih muda aja kagak punya malu, gimana entar kalo udah tua atao jadi pejabat? Pasti malu-maluin…


Then, ada yang nyeletuk “Waduh kalo gak ada cheerliar bisa nggak kompak, didenda dan dimarahin oleh senior dong” Eh, men-temen kita sebagai seorang muslim yang sejati nggak pantas ngomong gitu. Apakah pantes kita kompak dalam hal yang memalukan ? Apakah pantes pemuda muslim menjual kehormatannya dengan uang denda? Dan apakah pantes pemuda muslim ketakutannya pada manusia (senior) melebihi ketakutannya kepada Allah? Sungguh itu sangat amat super memalukan !!!


Cherliar, Budaya Barat


Barat dengan kebebabasan berkpresi memotivasi apapun bentuk tingkah laku remaja termasuk kumpul kebo, fashion show, cheerliar, de el el. Tak heran jika kerusakan moral terjadi di Barat. Mereka tak memperdulikan lagi apakah itu tabu, bejat memalukan atau kerusakan lainnya yang penting asyik. Itulah prinsip hidup mereka, namun kebanyakan orang muslim terutama para pemuda muslim bercermin dengan perilaku buruk mereka, padahal kita memiliki sebuah standar kehidupan yaitu Islam. Kepribadiaan seseorang bukan dilihat penampilannya, IQ-nya jongkong apalagi jengking, tetapi para personality dan ketinggian akhlaqnya. Pemuda yang ikut-ikutan dalam group cheerliar berarti terlibat menyebarluaskan budaya barat dan budaya gila yang memalukan.




Muslim Jadi Cheerliar ? No Way !!!


Allah SWT, berfirman : “Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka (orang kafir) supaya mereka tidak memalingkanmu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah padamu” (QS. Al-Maidah 49)



Islam telah mewajibkan muslim, muslimah menutup aurat, menjaga perilaku baik dan dilarang berbuat memalukan. Dengan menjadi cheerliar yang berpakaian aneh, berteriak urakan, berarti melanggar perintah Allah untuk berakhlaq baik en meniru gayanya orang kafir. Haram tuh !!!


Sekarang kita telah merdeka, jadi seharusnya yang kita lakuin ialah sesuatu yang menjadikan diri kita berkualitas, bukannya malah ngelakuin sesuatu yang malah merendahkan harga diri kita menjadi urakan, tak beradab dan tak bermoral. Andaikan pejuang dulu masih hidup, tentu akan sedih ngeliat kalian yang kagak punya malu ini. Huh…!!! Kemerdekaan yang telah diraih tak boleh diartikan bebas (merdeka) untuk melepaskan diri kita dari aturan Allah tetapi kita harus menegakkan aturan-aturan Allah di tengah kehidupan.



Hai kawan-kawan. Kita adalah muslim yang memiliki kewajiban mentaati seluruh perintah Allah, dan dengan Islam kita akan berwibawa menjadi manusia yang sebenarnya. Cheerliar jelas-jelas budaya Barat yang haram hakamnya untuk ditiru. And then, perlu dicatat (bahkan kalo bisa diukir en dipahat) bahwa ketinggian kepribadian seseorang itu bukan diukur dengan tepuk tangan hadirin yang bersorak-sorai mengaguminya. Tetapi seberapa tinggi kualitas kita mengikuti ajaran Islam. Kita berlindung kepada Allah dari gambaran generasi muslim yang sesat sebagaimana Sabda Nabi SAW : “Nanti datang sebuah generasi, mereka mengekor perilaku umat-umat terdahulu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, bahkan jika masuk ke lubang biawak (selokan) mereka juga mengikutinya”.



Yang Penasaran...?..